Rabu, 23 November 2011

KESULTANAN SIAK SRI INDERAPURA

 1723–1945
Bendera Kesultanan Siak
Bendera
Lokasi Kesultanan Siak
Ibu kota Buantan, Siak Sri Inderapura
Bahasa Minang, Melayu
Agama Islam
Pemerintahan Monarki
Sejarah
 - Didirikan 1723
 - Kemerdekaan Indonesia 1945
Kesultanan Siak Sri Inderapura merupakan sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di daerah Provinsi Riau, Indonesia, tepatnya di Kabupaten Siak sekarang.
Awalnya kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil, dari Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya tersingkir atas tahta Kesultanan Johor.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.

Etimologi

Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan".
Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, belum menyebutkan adanya nama Siak antara kawasan Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau, serta juga menyebutkan dari tiga raja MInangkabau itu hanya satu raja yang telah memeluk Islam,[2] sehingga jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak.
Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yang bermaksud pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii,[3] masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani.[4] Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai.

Masa awal

Raja Kecil putra Pagaruyung dalam Hikayat Johor disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan. Sedangkan berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC.[5] Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri yang ditujukan kepada pihak Belanda menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung.[6]
Sebelumnya dari catatan Belanda, telah mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan bagi raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi.[7] Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari Pagaruyung, hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.[8]
Pada tahun 1717 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor, namun di tahun 1722 Sultan Abdul Jalil disingkirkan akibat pengkianatan beberapa bangsawan Johor dan kemudian ia pindah ke Siak serta mendirikan kerajaan baru yang dipimpinnya sendiri di tahun 1723.

Masa keemasan

Sultan Siak dan Dewan Menterinya serta Kadi Siak di tahun 1888
Upacara penobatan Sultan Siak di tahun 1899
Di tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan bahkan di tahun 1740-1745 menaklukan beberapa kawasan di Kedah.
Pada tahun 1761, putra Sultan Abdul Jalil yang menjadi Sultan Siak berikutnya membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dalam bidang persenjataan.
Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,[9] termasuk wilayah Deli dan Serdang.[10]
Jangkauan terjauh pengaruh Kesultanan Siak sampai ke Sambas di Kalimantan Barat. Kesultanan Siak mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka dan kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut.

Penurunan

Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Kesultanan Inderagiri yang menjadi vassal dari Kesultanan Aceh.
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris. Sementara pada tahun 1859 Belanda membatalkan niat mereka untuk menaklukan Kesultanan Siak, dan memilih untuk tetap menjadikan Kesultanan Siak berdaulat atas wilayahnya setelah Sultan Siak menjamin untuk menghancurkan para perompak yang bersembunyi di wilayahnya.
Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka dan persaingan dengan beberapa kerajaan lain seperti dengan Kesultanan Aceh, Kesultanan Johor, Kesultanan Jambi bahkan dengan pihak Inggris dan Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya. Kemampuan Kesultanan Siak dalam melakukan negoisasi menjadikan kerajaan ini tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia, walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.

Bergabung dengan Indonesia

Potret Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim II dan istrinya (1910-1939)
Sultan Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang tidak memiliki putra, seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.

Struktur pemerintahan

Pengaruh Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak, setelah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yang mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau.
Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Empat di Negeri Sembilan. Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya. Dewan menteri ini terdiri dari:
  1. Datuk Tanah Datar
  2. Datuk Limapuluh
  3. Datuk Pesisir
  4. Datuk Kampar
Pada kawasan tertentu dalam Negeri Siak, ditunjuk Kepala Suku yang bergelar Penghulu, yang dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yang sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang tidak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan Antan-antan. Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak, sama halnya dengan pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir.
Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Negeri Siak serta Controleur Siak sebagai anggota.
Salah satu kitab hukum atau undang-undang di Negeri Siak, dikenal dengan nama Bab Al-Qawa'id. Kitab ini mengurakan hukum yang dikenakan kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lain yang terlibat perkara dengan masyarakat Melayu. Namun tidak mengikat orang Melayu yang bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia-Belanda.[11]
Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak telah membagi beberapa kawasan dalam bentuk distrik yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan bertanggungjawab kepada Sultan Siak yang juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak, salah satunya keturunan Al-Jufri yang bergelar Bendahara Patapahan,[12] serta arsitektur istana Sultan Siak yang dibangun pada tahun 1889.

[sunting] Daftar Sultan Siak

Berikut adalah daftar Sultan Siak Sri Inderapura.
Tahun Nama sultan Catatan dan peristiwa penting
1723-1746 Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I[13]
1746-1761 Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah II
Sultan Mahmud
Memindahkan pusat pemerintahan ke Mempura**
1761-1761 Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah III
Raja Ismail[14]
Dipaksa VOC turun tahta, kemudian berkelana selama 18 tahun*
1761-1766 Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah
1766-1770 Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
1770-1779 Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah
Raja Muhammad Ali

1779-1781 Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah III
Raja Ismail
Kembali berkuasa
1781-1791 Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah
Sultan Yahya[15]
Pada tanggal 1 - 8 - 1782 membuat perjanjian dengan VOC dalam berperang melawan Inggris, Meninggal dunia tahun 1791 dan dimakamkan di Tanjung Pati (Che Lijah, Dungun, Terengganu, Malaysia)
1791-1811 Sultan Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi
Sultan Said Ali

1811-1815 Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin
1815-1864 Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Dipaksa Belanda turun tahta tahun 1864
1864-1889 Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I
1889-1908 Yang Dipertuan Besar Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin[11]
Sultan Syarif Hasyim

1915-1946 Yang Dipertuan Besar Syarif Kasyim Abdul Jalil Saifuddin[16]
Sultan Syarif Kasim II
Menyerahkan kerajaannya pada pemerintah Republik Indonesia

Warisan sejarah

Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, dan Istana Siak Sri Inderapura dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886 masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin dan Tari Olang-olang yang pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. Nama Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yang bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar