Posisi Mangkunegaran dalam sistem dan struktur politik Jawa menempati kedudukan yang istimewa karena berdirinya Mangkunegaran merupakan hasil perjuangan (Ricklefs,1991).Pangeran Sambernyawa sebagai cikal bakalnya telah memulai perjuangan sejak berumur 16 tahun ketika panggilan perjuangan memanggilnya.Keulungan Mangkunegara I dalam kemiliteran sangat teruji ketika Mangkunegara I harus menghadapi 3 kekuatan gabungan yang terdiri dari pasukan pasukan; Belanda, Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi
Istana Mangkunegaran
Dalam kancah politik Jawa Istana Mangkunegaran dengan penguasanya Mangkunegara tampil dengan penguatan yang bersifat rasional. Dua penguasa Jawa lainnya di istana Surakarta dan Yogyakarta membangun kekuasaan untuk keagungan sebagai penguasa menempuh jalan penguatan simbolik simbolik sedangkan Mangkunegaran membangun kemegahan kekuasaan dengan jalan rasional dan aksi.Rasionalisasi kekuasaan ini tampak dalam masa pemerintahan Mangkunegara II yang melanjutkan pendahulunya Mangkunegara I.Pembangunan rasional ditempuh untuk kepentingan dan kekuatan kerajaan sehingga kemakmuran yang dicapai bisa mengalir kebawah kepada kawulanya.Pembangunan militer yang kuat dan ekonomi beriring dengan karya karya sastera yang sampai sekarang tetap aktual dan menjadi rujukan bagi masyarakat Jawa.
Raja Mangkunegaran
Penguasa Mangkunegaran secara resmi bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senopati Ing Ayudha Sudibyaningprang yang ke I, II, III...dan seterusnya dan secara fleksibel disebut dengan Mangkunegara dengan tambahan angka Romawi di belakangnya yang menunjukan pada yang sedang bertahta.Gelar dari raja Mangkunegaran ini benar benar murni Jawa tanpa tambahan kata kata asing semisal Panatagama.Keaslian Jawa dalam figur Mangkunegaran ini yang oleh beberapa penulis asing dinyatakan sebagai takdir. Mangkunegaran ditakdirkan berdiri untuk mengembalikan segala sesuatu dari Jawa yang hilang.Selewat peperangan yang berlarut larut sampai dilalui nya Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757, Mangkunegaran menjadi kekuatan penyeimbang yang masih selalu menampakan kegarangannya dalam memainkan kartu kartu konfliknya. Kedudukan penguasa Mangkunegaran adalah Raja Muda dan ini yang oleh pendahulunya diperjuangkan untuk menuju kemandiriannya tanpa mau didikte. Mangkunegaran tidak segan segan memainkan kekerasan dalam menghadapi kekuasaan lain yang merongrong wibawa dan eksistensinya.
Para Raja yang bertahta di Mangkunegaran dari setiap generasi tampil dengan cakap dan lihay untuk kerajaannya karena pada hakikatnya regenerasi di kerajaan ini betul betul disiapkan. Seorang putra mahkota yang bakal menjadi Mangkunegara berikutnya sejak remaja selalu disiapkan dengan memberikan beban tanggung jawab secara langsung dan berjenjang.Gelar Pangeran Prangwadana selalu menyertai bagi putra mahkota kerajaan.
Sejak tahun 1757 berturut turut yang bertahta di Istana Mangkunegaran adalah;
1.Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara I (1757-1795)
2.Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II (1796-1835)
3.Mangkunegara III (1835-1853)
4.Mangkunegara IV (1853-1881)
5.Mangkunegara V (1881-1896)
6.Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VI (1896-1916)
7.Mangkunegara VII (1916-1944)
8.Mangkunegara VIII (1944-1987)
9.Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IX (1987-sekarang
Lokasi Mangkunegaran
Istana Mangkunegaran berlokasi di Kota Surakarta di jalan Ronggowarsito dan bangunan menghadap ke Selatan.Sebagai kerajaan yang terbuka dengan ide ide baru perjumpaan Kebudayaan jawa dengan Eropa dicermati dengan seksama dan di akulturasikan menjadi milik Jawa.Akulturasi ini di inkulturasi sampai unsur dan elemen Eropa menjadi semakin Jawa.Bangunan istana
Istana Mangkunegaran berdiri sejak tahun 1757 dan pada waktu awal mula berdiri komplek istana belum dilengkapi dengan Pendapa. Bangunan Pendapa dengan atap Joglo baru dibangun pada masa pemerintahan Mangkunegara IV yakni tahun 1866.Surakarta yang kental dengan kebiasaan kebiasaan Jawa mengadopsi style Eropa yang dijadikannya menjadi Jawa tampil dalam hal pembangunan fisik.Bangunan Jawa secara prinsipial tidak mengenal adanya teras atau elemen serambi karena elemen ini merupakan ke khas an dari villa villa di Eropa.Bangunan Jawa yang tanpa mengenal serambi ini dipadukan dengan elemen Eropa secara visual dan fungsional menghadirkan keindahan dan kegunaan terwariskan secara tradisi kegenerasi berikutnya.Aliran klasik dan neoklasik Eropa berpadu dengan semangat neoklasik Jawa menghadirkan pengolahan tata ruang yang secara simbolik menampilkan citra dan kegunaan aktivitas beserta ornamen dan pahatan sebagai simbolik.
Dari visualisasi bangunan, Istana Mangkunegaran mengambil corak Eropa dalam Empire Style dalam perpaduan Jawa yang menghadirkan kemaharajaan dengan keagungan dan kewibawaannya.Perpaduan antara Arsitektur Jawa dan Arsitektur Eropa terserap di Mangkunegaran yang memang terbuka untuk inovasi dan ide ide yang baru. Sistem denah menghadirkan suatu pola tatanan ruang yang tertutup dan bersifat linear.Pada kondisi struktur bangunan tampak bahwa antara atap dan dinding merupakan satu kesatuan utuh struktur dengan kata lain sistem struktur bangunan Istana menggunakan sistem strutur dinding pemikul.Penggunaan kolom kolom bulat yang terbuat dari besi tuang (cor) dengan konsol konsol besi semakin menampakan perpaduan Jawa dengan neoklasik Eropa dalam penampilannya.
Ciri utama peningalan Eropa di jawa dalam soal bangunan juga terdapat pada keluasan bidang bukaan jendela dan pintu serta skala ruang yang luas dan tinggi.Aspek keluasan ini pada intinya adalah pengolahan aspek kenyamanan penghuni dalam aktivitasnya sehari hari yang hadir di bumi beriklim tropis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar