Senin, 05 September 2011

CANDI JAWI


Candi Jawi adalah candi yang dibangun sekitar abad ke-13 dan merupakan peninggalan bersejarah Hindu - Buddha Kerajaan Singhasari di kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia. Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan tempat penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara.

Latar belakang

Alasan Kertanegara membangun candi Jawi jauh dari pusat kerajaan diduga karena di kawasan ini pengikut ajaran Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bayangkara. Negarakertagama mencatat adanya pemberontakan Cayaraja.
Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini timbul dari kisah sejarah bahwa saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), dia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.

Struktur dan kegunaan bangunan

Bentuk candi berkaki Siwa, berpundak Buddha. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah, dengan ukuran luas 14,24 x 9,55 meter dan tinggi 24,50 meter. Pintunya menghadap ke timur. Posisi pintu ini oleh sebagian ahli dipakai alasan untuk mempertegas bahwa candi ini bukan tempat pemujaan atau pradaksina (sebuah upacara penghormatan terhadap seorang dewa, disebut Dewayadnya atau dewayajña), karena biasanya candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat yang dipercaya sebagai tempat persemayaman kepada Dewa. Candi Jawi justru membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain ada pula yang beranggapan bahwa candi ini tetaplah candi pemujaan, dan posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung karena pengaruh dari ajaran Buddha.

Arkeologi

Keunikan Candi Jawi adalah adanya relief di dindingnya. Sayangnya, relief ini belum bisa dibaca. Bisa jadi karena pahatannya yang terlalu tipis, atau karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Negarakertagama yang secara jelas menceritakan candi ini tidak menyinggung sama sekali soal relief tersebut. Berbeda dengan relief di Candi Jago dan Candi Penataran yang masih jelas. Salah satu fragmen yang ada pada dinding candi, menggambarkan sendiri keberadaan candi Jawi tersebut beserta beberapa bangunan lain disekitar candi. Nampak Jelas pada fragmen tersebut pada sisi timur dari candi terdapat candi perwara sebanyak tiga buah, namun sayang sekali kondisi ketiga perwara tersebut saat ini bisa dibilang rata dengan tanah. demikan juga di fragmen tersebut terlihat jelas bahwa terdapat candi bentar yang merupakan pintu gerbang candi, terletak sebelah barat. Sisa-sisa bangunan tersebut memang masih ada, namun bentuknya lebih mirip onggokan batu bata, karena memang gerbang candi tersebut dibangun dari batu bata merah.
Disamping relief yang terletak dibagian dinding candi, terdapat pula relief lain yang terletak dibagian dalam candi. Terletak tepat dibagian tengah candi yang merupakan bagian tertinggi dari bagian dalam candi, terdapat sebuah relief Dewa Surya yang terpahat jelas.
Keunikan lain dari Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Bagian bawah terdiri dari batu hitam, sedangkan bagian atas batu putih. Sehingga timbul dugaan bahwa bisa jadi candi ini dibangun dalam dua periode yang berbeda teknik bangunan.

Sejarah candi menurut Negarakertagama

Negarakertagama menyebutkan, di dalam bilik candi terdapat arca Siwa. Di atasnya arca Siwa terdapat arca Maha Aksobaya yang kini telah hilang. Ada sejumlah arca bersifat Siwa, seperti Nandiswara, Durga, Ganesa, Nandi, dan Brahma.
Kakawin Negarakertagama menyebutkan bahwa pada saat candrasengkala atau pada tahun Api Memanah Hari (1253 Saka) candi itu disambar petir. Saat itulah arca Maha Aksobaya raib. Dikisahkan Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk yang mengunjungi candi itu kemudian bersedih atas hilangnya arca tersebut. Walaupun telah ditemukan arca Maha Aksobaya yang kini disimpan di Taman Apsari, depan Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, yang kemudian dikenal dengan Patung Joko Dolog, arca ini bukan berasal dari Candi Jawi.
Ditulis bahwa setahun setelah Candi Jawi disambar petir, telah dilakukan pembangunan kembali. Pada masa inilah diperkirakan penggunaan batu putih. Namun, asal batu putih tersebut masih dipertanyakan, karena kawasan yang termasuk kaki Gunung Welirang kebanyakan berbatu hitam, dan batu putih hanya sering dijumpai di daerah pesisir utara Jawa atau Madura.

Pemugaran dan usaha konservasi

Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 dalam masa pemerintahan Hindia Belanda karena kondisinya sudah runtuh. Akan tetapi, renovasinya tidak sampai tuntas karena sebagian batunya hilang. Kemudian diperbaiki kembali tahun 1975-1980, dan diresmikan tahun 1982. Kini biaya pemeliharaan didapatkan dari sumbangan sukarela dari pengunjung maupun LSM lainnya.
Bentuk bangunan Candi Jawi memang utuh, tetapi isinya berkurang. Arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan. Sedangkan yang lainnya lagi, seperti arca Brahmana, tidak ditemukan. Mungkin saja sudah berkeping-keping.
Di gudang belakang candi memang terdapat potongan-potongan patung. Selain itu, terdapat pagar bata merah seperti yang banyak dijumpai di bangunan pada masa Kerajaan Majapahit, seperti Candi Tikus di Trowulan dan Candi Bajangratu di Mojokerto.

Pemindahan peninggalan bersejarah

Arca-arca peninggalan yang ditemukan di Candi Jawi telah dipindahkan, sebagian besar ke Museum, dan sebagian ke tempat komersial. Pemindahan arca-arca dari Candi Jawi ataupun candi lainnya ini mendapat banyak kritik dari sejarawan dan masyarakat setempat, karena walaupun pada satu sisi memang tepat untuk menghindarkan dari pencurian, pemindahan ini dianggap dapat mengurangi substansi sejarah peninggalan tersebut sehingga menjadi tidak lengkap untuk diapresiasi. Arca-arca yang dipindah dari habitatnya menjadi kehilangan nilai historisnya. Arca candi Jawi yang disimpan di Hotel Tugu Park, Malang, sebagai contoh, memang terawat baik, namun dianggap tercabut dari nilai historis dan ritualitasnya dna menjadi suatu hal yang cenderung dilematis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar