Fosil hujan di permukaan batuan (foto: Live Science)
DURBAN - Bukan hanya tulang belulang saja yang bisa menjadi fosil. Baru-baru ini, para ilmuwan telah meneliti sebuah jejak hujan yang menjadi fosil.
Diwartakan Live Science, Kamis (29/3/2012), hujan itu terjadi sekira 2,7 miliar tahun yang lalu dan tercetak pada batu purba di Afrika Selatan. Jejak hujan purba tersebut memberi petunjuk tentang kondisi awal atmosfer Bumi.
Pada masa purba itu, Matahari bersinar 30 persen lebih redup. Suasana jauh lebih dingin ketimbang sekarang, dan mengindikasikan bahwa Bumi dalam keadaan membeku.
Para ilmuwan juga mengatakan bahwa atmosfer lebih tebal dan memiliki konsentrasi gas rumah kaca yang tinggi. Atmosfer purba penuh dengan gas rumah kaca untuk membantu menghangatkan Bumi.
"Karena Matahari saat itu jauh lebih redup, Bumi akan membeku jika memiliki kondisi atmosfer yang sama dengan saat ini," terang Sanjoy Som, peneliti di NASA Ames Research Center.
Selain itu, penelitian juga membandingkan kecepatan jatuh hujan purba dengan hujan di masa kini. Pada masa kini, butiran hujan bisa berukuran sekira seperempat inci. Kecepatan jatuhnya sekira sembilan meter per detik.
Atmosfer yang lebih tebal di zaman purba menimbulkan hambatan yang lebih besar pada hujan. Kecepatan jatuhnya jadi lebih lambat. Hal ini berarti ukuran butiran hujna serupa dengan yang i masa sekarang, akan membentuk jejak yang lebih kecil.
Berdasarkan ukuran jejak tersebut, para peneliti bisa mengatakan bahwa atmosfer yang menciptakan hujan purba, tidak sampai dua kali lipat lebih tebal ketimbang di masa sekarang. (fmh)
Diwartakan Live Science, Kamis (29/3/2012), hujan itu terjadi sekira 2,7 miliar tahun yang lalu dan tercetak pada batu purba di Afrika Selatan. Jejak hujan purba tersebut memberi petunjuk tentang kondisi awal atmosfer Bumi.
Pada masa purba itu, Matahari bersinar 30 persen lebih redup. Suasana jauh lebih dingin ketimbang sekarang, dan mengindikasikan bahwa Bumi dalam keadaan membeku.
Para ilmuwan juga mengatakan bahwa atmosfer lebih tebal dan memiliki konsentrasi gas rumah kaca yang tinggi. Atmosfer purba penuh dengan gas rumah kaca untuk membantu menghangatkan Bumi.
"Karena Matahari saat itu jauh lebih redup, Bumi akan membeku jika memiliki kondisi atmosfer yang sama dengan saat ini," terang Sanjoy Som, peneliti di NASA Ames Research Center.
Selain itu, penelitian juga membandingkan kecepatan jatuh hujan purba dengan hujan di masa kini. Pada masa kini, butiran hujan bisa berukuran sekira seperempat inci. Kecepatan jatuhnya sekira sembilan meter per detik.
Atmosfer yang lebih tebal di zaman purba menimbulkan hambatan yang lebih besar pada hujan. Kecepatan jatuhnya jadi lebih lambat. Hal ini berarti ukuran butiran hujna serupa dengan yang i masa sekarang, akan membentuk jejak yang lebih kecil.
Berdasarkan ukuran jejak tersebut, para peneliti bisa mengatakan bahwa atmosfer yang menciptakan hujan purba, tidak sampai dua kali lipat lebih tebal ketimbang di masa sekarang. (fmh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar